2018

Sumber: https://islam-institute.com/
Bagi para santri, alumni maupun masyarakat secara umum yang berkenan mengirimkan artikel dalam bentuk tulisan gagasan / opini maupun berita personal (citizen journalism) dapat disampaikan melalui email : email@pondokgomang.com atau pondokgomangcom@gmail.com. Tim Pondok Gomang akan menyeleksi dan memuat tulisan sebelum ditayangkan.

Sifat tulisan bebas, panjang minimal 600 kata. Ditulis menggunakan bahasa yang luwes dan mudah dipahami. Penulis juga dapat melampirkan foto pribadi maupun foto ilustrasi tulisan dengan mencantumkan link sumber ilustrasi (jika ada).

Pengiriman Artikel / Berita juga dapat melalui Link ini :



Puncak peringatan Hari Santri Nasional (HSN) yang akan digelar besok pada tanggal 22 Oktober 2018 mengundang beragam persiapan baik di tingkat pusat maupun daerah. Tanpa terkecuali, giliran Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kecamatan Singgahan juga berupaya mempersiapkan kegiatan tersebut dengan persiapan sebaik mungkin.

Kemarin (19/10), pengurus dan anggota BKPRMI yang terdiri dari beberapa kepala TPA Se-Kecamatan Singgahan menggelar rapat koordinasi di TPA An Nur Gomang. Kegiatan yang diselenggarakan mulai pukul 14.00 WIB itu dihadiri lebih dari 75 kepala TPA se Kecamatan Singgahan.

Meskipun dibarengkan dengan agenda rutin setiap 2 (dua) bulan sekali, kali ini koordinasi difokuskan untuk mempersiapkan puncak peringatan Hari Santri Nasional yang juga masuk agenda tahunannya. Sebagai bagian dari elemen santri, BKPRMI merasa terpanggil untuk turut mensukseskan Hari Santri Nasional tahun 2018, ujar Ali Muktar, Ketua BKPRMI Kecamatan Singgahan.

Kepala TPA An Nur yang dalam sambutan diwakili oleh Ketua Yayasan Wali Sembilan mengungkapkan terima kasih kepada BKPRMI yang telah mempercayakan agenda koordinasi di Gomang. Kami mengapresiasi para penggiat Al Qur’an di semua tingkatan yang turut mengobati keprihatinan generasi muda pada pemahaman akan Al Qur’an, kata Gus Maya, sapaan akrab Dr. RM. Armaya Mangkunegara, S.H., M.H.

Dalam sambutannya, Gus Maya juga berpesan agar segenap elemen santri turut berkontribusi menyongsong diundangkannya UU Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren. Banyak materi yang perlu diberikan masukan agar tidak merugikan lembaga pendidikan keagamaan bilamana UU tersebut direalisasikan, pungkasnya.


Bojonegoro – Polsek Ngraho dan jajarannya di bantu oleh Koramil, Sat Pol PP, Linmas dan Banser mengamankan Istighosah Kubro yang dilaksanakan malam tadi Kamis (13/4/2017) pukul 20.30 wib.

Kegiatan yang dilaksanakan di Masjid Darrul Firdaus Desa Kalirejo Kecamatan Ngraho Kabupaten Bojonegoro tersebut dilaksanakan dalam rangka Milad ke 2 Jamaah Maos Sholawat Manaqib dan Istighosah.

Dalam acara tersebut, dihadiri oleh Prof,Dr.KH.KPP Noer Nasroh,SH.M.Mpd pengasuh Pondok Pesantren Nurussalam Gomang Loh Kecamatan Singgahan Kabupaten Tuban sebagai penceramah.

Sementara itu, Iptu Mardi selaku perwira pengendali telah membagi anggotanya untuk melaksanakan pengamanan. Selain menempatkan di lokasi pengajian, pihaknya juga menempatkan di lokasi parkir jamaah. “Kita bagi personil, di parkiran, dilokasi pengajian serta dijalan raya” Terang Iptu Mardi perwira pengendali Polsek Ngraho.

Ketua panitia M.Khoirul Anam mengucapkan terima kasih kepada Polsek Ngraho yang telah memberikan rasa aman dan nyaman. Meski dihadiri jamaah dari wilayah jawa timur dan jawa tengah sebanyak kurang lebih 2500 jamaah, namun kegiatan bisa tetap berjalan lancar.

“Terima kasih atas bantuan polsek Ngraho yang telah mengamankan kegiatan kami, sehingga acara kami bisa berjalan sampai selesai dengan aman dan tertib”. Ucap M.Khoirul Anam ketua panitia.

By HumasBojonegoro
Sumber: Link



Tulisan ini disalin dari status Nawa Muhammad pada akun media sosialnya. Inspiratif, dan sarat makna sebagai kenangan ke-santrian:

Saya masuk MI di usia 5 Th setelah dua tahun belajar di TK. Seingat saya, ketika masuk TK itu saya sudah bisa membaca dan menulis Arab karena di rumah diajari Bapak dan Emak. Dalam hal makhroj huruf dan tajwid, Bapak, bagi saya adalah sebuah TEROR yg kelewat ketat dan perfeksionis. Belakangan saya beruntung pernah di Teror Bapak karena itu membantu saya ketika ngaji Alquran ke Guru2 saya.

Saya gonta ganti Guru ngaji di Langgar (Musholla). Dari Pak Shoib, Pak Jadi, Pak Ngali (Ali), Pak Munji, dan Pak As'ad. Dua nama terahir yang paling lama mengajari saya membaca Alquran waktu kecil sampai saya khatam. Mereka orang2 istimewa yang menjadikan saya cukup lancar ngaji bahkan 2 kali saya menjadi juara Baca Alquran tingkat SD-MI se Kab. Rembang. Waktu itu, dalam penilaian saya, hampir tak ada lawan berarti kecuali 2 perwakilan. Yang satu dari Kec. Lasem satunya lagi dari Kec. Sedan. Dua kecamatan yang memang punya tradisi keagamaan yang sangat kuat mengakar hingga sekarang. Saya, Alhamdulillah, beruntung aja.

Lulus MI saya ke Kajen. Berbekal sudah hatam Alquran dan pernah jadi juara pula, saya pede bukan main. Saya dapat Guru Kang Rofiq Alhafidz, santri senior yang sudah hafal Alquran yang bertugas membimbing ngaji Quran santri baru.

Di hadapan Kang Rofiq ke-pede-an saya runtuh, dan nampaknya itu adalah hantaman psikologis pertama yang saya alami dalam ngaji Quran. Makhroj (pelafalan huruf) saya salah semua. Selama berhari-hari saya hanya disuruh mengulang-ulang Alfatekah dan Tahiyyat. Dan itupun salah2 terus. Ya Allaaaaaah.. baru setelah minggu keempat saya dijini memulai dari Albaqoroh.

Setelah khatam di Kang Rofiq, saya ngaji ke Abah KH. Ahmad Zaki Abdillah Alhafidz. Saya merasa level saya sudah naik karena ngaji Quran langsung ke Kyai. Ternyata, di hadapan Abah Zaki salah salah lagi juga bacaan saya. Keterlaluan goblog nampaknya saya ini.

Tak lama saya ngaji ke Abah Zaki karena saya harus pindah pondok ke Pondok Gomang Jatim. Di sini, saya ngaji langsung ke Ibu Ny. Hj. Ani Zakiyati. Santri Kyai Arwani Kudus. Bekal ngaji di rumah dan Kajen rupanya tak cukup membuat saya lolos dari kesalahan baca. Masih aja saya sering salah di hadapan Ibu Nyai. Sampai kadang ya kudu nangis sekaligus kudu tertawa.

Hatam di Ibu, saya, Alhamdulillah, dipercaya ikut membimbing santri2 anyaran ngaji Alquran. Saya merasa reputasi saya dalam membaca Alquran cukup bagus. Saya punya alasan kuat untuk mendukung rasa pede saya itu : Jika sedang Udzur, Ibu sering menugaskan saya menggantikan beliau menyimak ngaji santri. Termasuk mbak-mbak santri juga. Hehe..

Saya kemudian kuliah. Untuk mengisi waktu kosong sore hari, saya ikut ngaji Alquran di Madrasah Al-Aydrus. Saya diajar Ust. Ahmad An-Najjar. Waduh waduh.. amburadul sekali bacaan saya. Saya bukan hanya diajar, tapi diHAJAR. Kho, qof, kha, ghin, ro, dhod, dho, jim, dho, saya hancur lebur. Dibentak2 saya oleh Ustadz muda yg nampaknya tak jauh2 dari saya usianya. Umumnya bukan kesalahan makhroj, namun peletakan sifat huruf. Beberapa yg makhroj dan sekaligus sifat seingat saya adalah Jim, Dhod, Kho. Runtuh bangunan ke-pede-an saya (atau KESOMBONGAN ?). Saya yg sudah pernah ngajar ngaji di salah-salahin begitu rupa. Itu komedi-tragedi, menyedihkan sekaligus lucu.

Dua tahun saya di Qism Tahfidz dan baru sampai Juz 20 an lalu saya fakum dari Madrasah. Setelah 2 th lamanya berhent, saya masuk Lagi kemudian ke Madrasah Aydrus. Kali ini bukan di Qism Tahfidz, tapi di Qism Qiroah. Saya pengen bisa Qiroah Sab'ah (tujuh jalur pokok riwayat pembacaan Alquran yang dianggap kredibel) . Saya ketemu Ustad Bajahhaf. Ustadz muda yang tergolong Master Qiroah Sab'ah di Madrasah ini. Ketemu dengan beliau, tambah Parah lagi banyaknya kesalahan yang harus saya benahi. Amburadul sekali Bacaan Alquran saya. Kapan saya harus mringis, kapan harus mecucu, kapan harus agak sedikit mrengut dsb. Tak lama saya diajar beliau karena beliau harus ke Malaysia. Setelah itu saya gonta ganti Ustadz, dari sejak Ustadz Ali, Ust. Abdurrahman, dll. Dan selalu banyak sekali kesalahan baca yang harus saya beresin. Saya mulai menikmati disiplin ketat penerapan Makhroj dan Sifat. Sayang, saya tak selesai. Saya sudah keburu duluan lulus kuliah (setelah perjuangan berdarah2. Hehe..) sebelum khatam. Saya tak seberuntung Kyai Ahsan Milal atau Syaikh Mamo Treem Elboyany , Syaikh Andre Vratama yang sampai selesai 7 Qiroah. Bahkan Syaikh Mamo nampaknya 14 Qiroah (perlu konfirmasi). Tapi saya syukuri betul Ilmu Qiroah yg saya dapatkan dari sana.

Dulu waktu masih di Pondok, saya kelewat idealis. Barangkali karena saya merasa saya adalah salah satu Guru Alquran yang cukup punya reputasi, hafal Nadhom Jazariyyah, seringkali saya menilai kualitas seseorang dari bagaimana dia melafadzkan huruf2 arab. Saya juga sering mufaroqoh (niat berpisah dari Imam Sholat) jika saya nilai Bacaan Imamnya bermasalah.

Pengalaman saya di HAJAR oleh Guru2 ngaji Qiroah itu membuat saya tahu diri bahwa saya ini rupanya masih GOBLOG. Dan itu membekas sekali setelah saya pulang dari kuliah. Saya lebih mudah memaklumi bacaan Quran yang saya nilai tak tepat dan kadang-kadang merasa Geli jika ada orang merasa paling Fasih dan menghukumi Sholat seseorang tak sah karena bacaan Fatekahnya bermasalah. Pikir saya : KAMU JUGA PALING GA FASIH.


Sebuah masjid di Kabupaten Tuban hanya memiliki satu tiang utama. Tiang ini terbuat dari pohon jati setinggi 27 meter. Bangunan masjid An-Nur Nurul Miftahussofyan di Dusun Gomang, Desa Laju Lor, Kecamatan Singgahan, Kabupaten Tuban dianggap unik. Karena masjid yang di bangun 8 Agustus 1994 ini hanya bertumpu pada satu tiang besar pohon jati sepanjang dua 27 meter. Tinggi tiang 27 meter merupakan simbol tanggal terjadinya Isro Mikroj, yakni pada 27 Rajab. Sementara bangunan 5 pintu masjid melambangkan Rukun Islam dan perintah waktu shalat. Di ujung tiang utama yang berdiameter 85 cm dihiasi bonggol pohon jati.

Masjid yang berdiri di lingkungan Pondok Pesantren Wali Songo, Gomang, ini juga memiliki kedalaman filosofi simbol religi. Misalnya, masjid ini memiliki 9 penyangga termasuk tiang utama. Tiang penyangga dan utama ini merupakan simbol jumlah para wali penyebar agama Islam di tanah Jawa. Area bangunan masjid memiliki panjang hingga 40 meter. Panjang tersebut merupakan simbol usia Nabi Muhammad SAW saat menerima wahyu dari Allah. Sedangkan lebar masjid 17 meter disimbolkan sebagai tanggal turunnya Al-quran, yaitu pada 17 bulan ramadan.

Menurut KH Noer Nasroh Hadiningrat, pengasuh ponpes,  konon tiang utama masjid didirikan oleh pengasuh pondok pesantren tanpa bantuan alat berat maupun orang lain. Namun, hanya dengan ditarik menggunakan seutas tali dari kulit bambu. Meski di luar nalar, masyarakat sekitar percaya ini merupakan kebesaran Allah SWT. Hingga kini, masjid ini makmur karena menjadi tempat ibadah dan dakwah bagi para santri ponpes dan masyarakat sekitar. (pul/*)

Oleh : Khusni Mubarok
Sumber: Link
Tuban pojokpitu.com, 


Ruwatan, demikian masyarakat menyebutnya. Menurut bahasa adat Jawa, ruwatan identik dengan serangkaian prosesi adat yang rumit, sakral dan menggunakan media “wayang”. Saking eratnya dengan wayang, stigma masyarakat jawa selalu mengarah jika proses ruwatan ‘harus’ nanggap wayang. 

Terdapat beberapa kriteria sehingga ruwatan (harus) dilaksanakan. Lebih tepatnya kondisi. Kondisi itu antara lain ketika dalam rumah tangga hanya dikaruniai satu anak, orang jawa menyebut ‘ontang-anting’. Kemudian dua anak (laki-laki dan perempuan), disebut kedono kedini. Tiga anak (laki-laki, perempuan, laki-laki), disebut sendang kinapit pancuran. Tiga anak (perempuan, laki-laki, perempuan) yang lazim disebut pancuran kinapit sendang. Ada kalanya ketika dalam rumah tangga dikaruniai anak lima laki-laki semua (pendowo limo), bagi masyarakat jawa memercayai bahwa kondisi demikian ada ‘sengkolo’ nya. Maka perlu dibersihkan melalui proses adat ruwatan. 

Bagaimana dengan konsep Islam? Ternyata nyambung. Ruwatan berasal dari kata rowa yarwi ruwatan. Berarti membuang bala’ atau hal yang membahayakan. Secara terminologis sebenarnya ada korelasi antara pemaknaan jawa membuang sengkolo dengan pemaknaan terma Islam. 

Yai Nasroh sendiri kerap dimintai tolong oleh masyarakat untuk meruwat. Termasuk dalam iluatrasi foto di atas (4/10/2018). Berbeda dengan adat jawa pada umumnya yang menggunakan media wayang, prosesi ruwatan di Pondok Gomang dilakukan dengan serangkaian proses pembacaan surat Yasin minimal sebanyak 40 kali. Dan tentunya dengan tata cara tertentu. 

Sungguh gambaran betapa dihargainya perpaduan antara tradisi jawa dan Islam. Seperti halnya dicontohkan oleh Para Wali Songo terdahulu. Maka, jika ada pihak tertentu menganggap syirik, sejatinya perlu dilihat dan memahami prosesnya. Tidak hanya sebatas justifikasi tanpa dasar dan dalil yang benar. 


[success title="Informasi" icon="info-circle"] Foto diambil pada saat Yai Nasroh memimpin prosesi ruwatan. [/success]

Berdiri di sebuah areal perbukitan dengan ketinggian 470 meter di atas permukaan laut yang dikelilingi hutan jati membuat Pondok Pesantren Walisongo Gomang, Desa Lajolor, Kecamatan Singgahan, Kabupaten Tuban, terasa teduh dan sejuk. Jika menempuh rute perjalanan Bojonegoro-Jatirogo-Tuban, ponpes ini terletak 37 kilometer dari Bojonegoro dan 45 kilometer dari Tuban.

Salah satu keunggulan ponpes ini selain mengajarkan ilmu agama, juga membentuk santrinya untuk mencintai lingkungan. Memang santri tidak hanya dididik ilmu agama, tetapi juga digembleng agar mencintai lingkungan. Para santri sering dilibatkan dalam penghijauan, reboisasi, pemeliharaan dan pengayaan tanaman hingga penerapan konservasi tanah pada lahan kritis dan tidak produktif serta penyelamatan sumber mata air.

Penghijauan dilakukan di petak 11 Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Mulyoagung, Kesatuan Pemangkutan Hutan Parengan seluas 78,3 hektar, dan petak 26 seluas 23 hektar untuk penyelamatan mata air. Penyelamatan mata air di Pacing seluas 5 hektar, Prataan 8 hektar, dan Malo 5 hektar. Selain itu, penghijauan juga dilakukan di hutan rakyat di Podang 38 hektar, Ngaglik 65 hektar, Banyubang 4 hektar, Mbaro 8 hektar, Kumpulrejo 1 hektar, dan Gomang 5 hektar. Rehabilitasi penyelamatan sumber mata air dilakukan di beberapa titik.

"Dulu saat hutan rusak, dari 17 mata air hanya tinggal delapan yang berair. Setelah ada upaya rehabilitasi, kini 14 mata air telah menyemburkan air. Tinggal tiga yang mulai keluar sedikit demi sedikit," kata KH Noer Nasroh Hadiningrat, Pengasuh Pondok Pesantren Walisongo Gomang, Rabu (28/1). Sumber mata air di Krawak saja bermanfaat untuk kebutuhan air bersih bagi 10 Desa di Kecamatan Montong dan delapan desa di Kecamatan Singgahan. Sumber mata air yang mengalir melalui Bendung Nglirip bisa mengairi 3.800 hektar sawah.

KH Noer menegaskan, ponpes juga mengembangkan sapi sistem bergulir bagi santri yang kurang mampu secara ekonomi. Saat ini telah berkembang menjadi 700 sapi termasuk bantuan dari alumni. Santri juga diikutsertakan untuk mendapatkan keterampilan menjahit, anyaman bambu dan rotan, ukir, las dan elektronika. Bekerja sama dengan PT Semen Gresik, santri dibekali pengetahuan dan keterampilan berwirausaha.

SMK Kehutanan

Untuk lebih meningkatkan peran ponpes terhadap kelestarian lingkungan hidup, Ponpes Walisongo Gomang, Tuban, merintis pendirian SMK Kehutanan pertama dan baru satu-satunya di Indonesia. Dengan SMK Kehutanan dimaksudkan sejak dini anak-anak bisa secara mendiri ikut mengelola hutan dan melestarikannya.

"Kalau hal tersebut berjalan efektif, selanjutnya hutan Indonesia, khususnya yang ada di bawah Perhutani KPH Parengan, akan kembali hijau. Ini merupakan komitmen kami mencetak kader yang peduli terhadap hutan dan lingkungan. Kami sangat mengharapkan partisipasi masyarakat luas mengenai pentingnya penanaman sejak dini tentang kelestarian hutan," papar KH Noer.

Administratur Kesatuan Pemangkuan Hutan Parengan Kristomo mendukung penuh upaya Ponpes Gomang dalam pelestarian lingkungan hidup. Dengan kerja sama dengan Perhutani, Ponpes Gomang membuktikan kepedulian terhadap kelestarian lingkungan hidup. "Ini merupakan ponpes berbasis lingkungan yang membentuk santri sebagai generasi penerus cinta lingkungan," kata Kristomo saat berkunjung ke Ponpes Walisongo Gomang.

Sebagai pendukung Perhutani menyediakan lahan hutan untuk petak pendidikan untuk praktik siswa. Perhutani juga membantu kegiatan belajar dan mengajar termasuk instruktur di SMK Kehutanan. "Model penyulingan minyak kayu putih akan kami jadikan prototipe untuk kerja sama dengan sekolah yang ada di sekitar kawasan hutan di wilayah lainnya," katanya.

Ponpes Walisongo Gomang mengupayakan studi lanjut santri. Biaya pendidikan 15 siswa kelas XII dan 15 siswa kelas XI ditanggung Perum Perhutani KPH Parengan. KH Noer Nasroh mengatakan, bagi lulusan terbaik peringkat 1-3 diupayakan dibiayai ikatan dinas Perum Perhutani.

Seorang santri kelas X, Istiatur Rismayah Awaliyah, merasa bersyukur masuk di Ponpes Gomang. "Saya selain dapat ilmu agama juga dididik cinta hutan. Sangat menyenangkan sekali ketika praktik langsung tanam pohon atau menyetek tanaman," katanya. Hal sama dikemukanan Ahmad Fariz An dari Kudus. "Yang paling berkesan sikap perilaku kami lebih bagus dan kami lebih bisa mencintai lingkungan," tuturnya. "Saya senang bisa belajar dan praktik penyulingan minyak kayu putih," kata Naimatus Sholehah, santri dari Surabaya.editor SAWAUN HADINATA


Oleh: Adi Sucipto Kisswara (wartawan Media Cetak KOMPAS)
Sumber: Link
Diposting oleh multimediacomp



Gempa bumi yang terjadi di Sulawesi merupakan pengingat bagi kita semua. Bahwa Allah SWT tidak sekalipun melupakan Hamba Nya. Tidakkah kita mengetahui hal ini dari Firman Nya? Tentunya, dibalik musibah selalu tersimpan hikmah.

Segenap keluarga besar PondokGomang.Com turut berbela sungkawa atas kejadian gempa bumi di Sulawesi. Semoga Saudara-Saudara kita disana diberikan ketabahan dan diberikan jalan terbaik dari Allah SWT.


Hutan jati di Kabupaten Tuban, menjadi daya tarik tersendiri bagi komunitas pecinta olahraga otomotif ekstrem. Hutan Tuban memiliki track yang cukup menantang untuk kendaraan 4X4. Komunitas yang tergabung dalam Taft Diesel Indonesia Ronggolawe (TDIR), menjelajah Hutan Tuban kemarin sore, (24/7/2016). Kurang lebih 16 reader menguji nyali dengan menjajal ketangkasan dan ketrampilan mereka di jalur ekstrem hutan Tuban.

Dari start hingga finish panjang jalur yang dilalui kurang lebih 55 Kilometer (KM). Jalan yang berbatu dan berlubang, jadi tantangan tersendiri yang harus deliwati mobil-mobil ini. Hutan yang sebagian besar ditanami pohon jati itu pun menjadi teman bagi para petualang medan Off road bumi Ronggolawe tersebut.
“Rute kita ambil dari Tuban Kota, Masuk menuju Kecamatan Kerek sampai hutan Gegunung (Singgahan) dilanjut ke Desa Kumpulrejo (Tuwiwian) kemudian finish di Gomang,” jelas panitia Off road, RM Armaya Mangkunegara, SH, MH kepada blokTuban.com, Minggu (24/7/2016).

Lanjut pria yang akrab disapa Gus Maya, Tujuan utama dari kegiatan TDIR adalah Searching (menggali) potensi wisata Tuban yang mungkin belum terjamah oleh masyarakat umum. Selain itu juga sebagai wadah komunitas pecinta otomotif yang peduli lingkungan dan juga masyarakat.

“Kami mencoba menggali bersama anggota TDIR. Memunculkan kearifan lokal yang masih tersembunyi. Medan kita lebih kearah pedalaman supaya tau bagaimana dimensi sosial yang ada. Siapa tau kita bisa ikut membantu bagi masyarakat pedalaman yang membutuhkan uluran tangan kita,” tambah putra Prof. Dr. KH. RM Noer Nasroh, Pengasuh Ponpes Walisongo, Gomang, Kecamatan Singgahan itu.

Prabowo, Ketua umum TDIR mengatakan, kegiatan ini sebagai salah satu rangkaian acara silaturahmi antar anggota. Yang diawali dengan jelajah hutan tuban dan diakhiri Halal Bihalal di Ponpes Walisongo Gomang.
“Kami mencoba menerobos hutan Tuban sebagai lokasi penyelenggaraan kegiatan ini. Medannya sangat menarik dan sesuai dengan kriteria kita,” jelas Reader asal Tuban ini.

Selain menjelajah hutan, kita juga merekatkan silaturahmi antar anggota dengan menggelar halal bihalal di puncak bumi santri, Gomang. “Kami sangat berterimakasih sekali teah diterima di Ponpes Walisongo,” pungkas pria yang akrab disapa Bowo.[rof/ito]

[success title="Informasi" icon="info-circle"] Berita ini telah terbit pada blokTuban. [/success]

Program Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang digelontorkan Pemerintah Pusat dikhawatirkan terlaksana tidak sesuai pagu. Direktur Lembaga Bantuan Hukum Wali Songo (LBH WS), RM. Armaya Mangkunegara, SH, menilai, pengawasan terhadap program yang sepenuhnya menggunakan dana APBN tersebut sangat lemah, sehingga berpeluang besar terjadi penyimpangan. ” Pihak sekolah lebih sering tinggal terima matangnya, sendiko dawuh berapa pun besarnya yang diberikan pihak Dinas Pendidikan,” kata RM Armaya Mangkunegara, Jum’at (11/5).

Peluang terjadinya penyelewengan dana BSM itu, lanjut RM Armaya Mangkunegara, sudah terlihat dari kurangnya sosialisasi yang dilakukan pihak berwenang. Banyak orang tua wali yang tidak mengetahui adanya program tersebut, terutama yang ada di pedesaan. Dengan demikian masyarakat tidak mengetahui secara pasti berapa jumlah dana bantuan yang dialokasikan untuk membantu beaya pendidikan siswa miskin tersebut. ” Wali murid umumnya tidak tahu jelas berapa hak yang harus diterima anaknya, malah banyak yang tidak tahu ada program seperti itu. Mereka umumnya sudah berterima kasih sekali anaknya dapat bantuan,” kata pemuda yang biasa disapa Gus Maya ini.

Gus Maya berharap, pihak terkait dengan pengawasan melakukan langkah-langkah pro-aktif untuk memperketat pelaksanaan program BSM ini. Menurutnya, jika mekanisme pengawasan tidak diperkuat dan diperketat, program yang bertujuan menyelamatkan siswa-siswa miskin agar tetap bisa melanjutkan pendidikannya tidak akan berdampak pada menguatkan partisipasi pendidikan masyarakat untuk tingkat Menengah Atas. Sebab, kata putera Pengasuh Ponpes Wali Songo, Gomang, Kecamatan Singgahan ini, program-program serupa sudah banyak digelontorkan pada waktu-waktu sebelumnya, dan hasilnya tidak banyak memberi perubahan pada tingkat partisipasi pendidikan warga miskin.

Sejumlah wali murid penerima bantuan yang sempat ditemui kabartuban.com memang mengaku tidak tahu persis berapa duit yang seharusnya diterima anaknya. Sebagian wali murid itu mengaku tahu ada program bantuan dari Pemerintah untuk siswa miskin setelah anaknya mengatakannya. ” Ya si “kacung” itu yang ngasih tahu. Kalau nggak di kasih tahu ya saya nggak tahu kalau anak saya dapat bantuan,” kata salah seorang wali murid seorang siswa di sebuah SMA Negeri di Tuban, yang menolak menyebut identitasnya untuk media massa.

Si wali murid itu mengaku, anaknya mendapat bantuan sebesar Rp 100 ribu tiap bulan dari sekolahnya. Uang itu tidak pernah diterima langsung, karena sudah langsung dimasukkan sebagai uang SPP oleh pihak sekolah. ” Tapi ya syukur, meski tambahnya lebih banyak,” kata si wali murid.

Kekhawatiran Gus Maya tampaknya memang beralasan. Sebab, Komisi C DPRD Tuban yang membidangi masalah ini juga memilih tutup mulut saat kabartuban.com meminta informasi terkait pelaksanaan BSM di Tuban sejauh pengamatan wakil rakyat.

Sementara itu Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Tuban, Drs. H. Sutrisno, MM, menampik keras kecurigaan adanya penyelewengan dana BSM di jajarannya. Sutrisno mengklaim telah melaksanakan amanat Pemerintah Pusat itu dengan baik, sesuai petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk tehnis (Juknis). ” Semuanya sudah berjalan baik, tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” sanggah Sutrisno.

Sutrisno menunjuk bukti, peningkatan pagu bantuan untuk siswa miskin yang meningkat tidak akan terjadi apabila pelaksanaan di lapangan tidak sesuai Juklak dan Juknis yang diberikan Pemerintah Pusat. Tahun lalu, kata Sutrisno, Tuban mendapat alokasi anggaran Rp 10,625 milyar dari dana APBN untuk pelaksanaan BSM. Dari dana tersebut yang menjadi hak siswa miskin sebesar Rp 10,611 milyar, sebab telah dikurangi untuk belanja pegawai senilai Rp 7,56 juta dan belanja barang habis pakai sebesar Rp 1,82 juta. ” Tahun ini dapat Rp 16,050 milyar, untuk bantuan siswa miskin SMA, SMA dan MA. Negeri dan swasta sama-sama kebagian,” jelas Sutrisno.

Dana itu ditargetkan mampu membantu 5.529 siswa miskin yang sekolah di SMA Negeri, dan 4.521 siswa miskin yang bersekolah di SMA Swasta, MA dan SMK. Sutrisno menambahkan, memang terjadi perbedaan jumlah bersaran bantuan untuk masing-masing SMA. Khusus untuk siswa miskin yang bersekolah di SMA Negeri 1 mendapat jatah Rp 230 ribu/siswa/bulan, siswa miskin SMA 2 mendapat jatah Rp 110 ribu/siswa/bulan, sementara untuk siswa miskin di SMK, MA dan SMA Swasta kebagian Rp 100 ribu/siswa/bulan. (bek)
[success title="Informasi" icon="info-circle"] Berita ini telah terbit pada Kabar Tuban. [/success]


Disebuah dusun terpencil di pesosok desa yang bernama dusun Gomang ,desa Lajo Lor,kecamatan Singgahan ,kabupaten Tuban.Di dusun ini belum mengenal ajaran islam sama sekali,mereka adaah kelompok masyarakat yang menyembah matahari (ebih dikena dengan airan sapto darmo).Dusun Gomang pada waktu itu masih daerah terisoir sevang beberapa waktu datanglah seorang Waliyullah ke dusunGomang tersebut untuk memberi kabar bahwa akan datang hamba Allah ke dusun tersebut yang akan menjadi tempat bersiarnya agama islam.

‘’Assaamuaaikum “santri itu mengucapkan salam kepada penduduk Gomang .
“Siapakah kamu ini dan mau apakah kau kemari “bentak salah seorang warga .
Betapa kecewa santri tersebut karena tidak mendapat jawaban ucapan salam yang ia berikan bukannya di balas malah mendapatkan bentakan dan hinaan dari masyarakat Gomang tersebut .Gomang
“Saya disini hanya ingin memberi tahu kalian semua bahwa sebentar lagi akan datang kepada kalian seorang hamba Allah “dengan suara lantang agar semua masyarakat dapat mendengarnya tetapi ucapan waliyullah itu benar adanya , seorang kiyai bernama RM.Nur Nasroh Hadiningrat yang kaa itu adaah seorang santri disebuah pondok pesantren yang diasuh oleh KH.Sarbini , beiau sendiri santri dari Dr.KH.Hasyim Ashari pendiri pondok pesantren Tebu Ireng dan sekaligus pendiri NU .Ketika KH.Sarbini mendengar bahwa di dusun Gomang ada airan penyembah matahari maka KH.Sarbini mengutus ke sembilan santrinya untuk meluruskan masyarakat Gomang dengan ajaran agama islam.,agar isam dapat mewarnai ditengah –tengah masyarakat yang tergolong masih primitif terhadap agama baru karena menurut mereka agama nenek moyang ebih baik daripada agama yang ain .Serta masyarakat Gomang juga lebih percaya pada tahayul.
“Wahai para santri –santriku kemariah kaian “sambil menunjuk pada ke sembian santrinya itu .
‘’Ada tugas apa yang harus kita emban kiyai” tanya para santri dengan rasa penasaran yang tinggi.
“Kaian ber sembilan saya serahi tugas yang sangat berat ,yaitu kaian harus mengamalkan ilmu yang kalian miliki”jawab sang kyai dengan nada yang sangat tegas dan berwibawa.

Adapun para santri yang diutus KH.Sarbini untuk mengabdi di dusun Gomang adalah:
1. Rifa’i (berasal dari Nganjuk)
2. Muyamil (berasal dari Mundri,Bangian)
3. Safuan (berasal dari Gembong ,Bangian )
4. Suhadi (berasal darin Padangan ,Bojenegoro)
5. Asmakun (berasal dari lajulor, Singgahan )
6. Kusnin (berasal dari lajulor,Singgahan)
7. Sobari (berasal dari vajulor,singgahan)
8. Abdul Rohman (berasal dari lajulor,Singgahan)
9. RM. Nur Nasroh Hadiningrat (berasal dari Purwodadi,Grobokan)

Sumber:Link
Website resmi SMK Kehutanan Gomang: https://www.smkkehutananws-tuban.sch.id


Bangunan Masjid An-Nur Nurul Miftahussofyan berdiri kokoh di Dusun Gomang, Desa Lajulor, Kecamatan Singgahan, Kabupaten. Tempat ibadah utama itu terbilang unik jika dibandingkan masjid pada umumnya. Sebab, saat dibangun tanggal 18 Agustus 1994 di lingkungan Pondok Pesantren (Ponpes) Wali Songo Gomang, hanya bertumpu pada satu tiang besar dari kayu jati berdiameter 85 centimeter dan tinggi 27 meter. Lebih nyentrik lagi diujung atasnya dihiasi akar pohon jati.

Suasana hening langsung menyeruak saat memasuki komplek Ponpen Gomang, begitu panggilan akrabnya. Sebab lokasi berada di atas pegunungan, atau sekitar 7 kilometer dari pusat Kecamatan Singgahan. Tidak begitu lama, reporter blokTuban.com melihat santri Ponpes Walisongo berduyun-duyun ke masjid di sebalah selatan asrama untuk menjalankan salat Duhur usai mengaji bersama sang kyai. Muda-mudi berbalut busana Islami itu memenuhi masjid berlantai kayu yang terletak di tebing perbukitan tengah hutan jati KPH Jatirogo.

KH Noer Nasroh Hadiningrat, pengasuh serta pendiri Ponpes Walisongo dan Masjid An Nur, memulai cerita kepada blokTuban.com. Di halaman pondok yang berjarak sekitar 73 km dari Kota Tuban itu, kiai kelahiran tahun 1954 berkisah tentang berdirinya pondok dan masjid.

Menurut cerita Kiai Nasroh, panggilan akrabnya, ia setelah mondok di berbagai Ponpes di Indonesia, diminta kiainya untuk mengabdikan ilmunya di Dusun Gomang yang kala itu merupakan daerah terisolir dengan penduduk hanya 12 Kepala Keluarga (KK). kebanyakan warga menganut aliran Sapto Darmo yang menyembah matahari dan bersembahyang menghadap ke arah timur. Tak hanya itu, warga Gomang pada waktu itu selalu bersembunyi setiap kali ada polisi atau pamong desa datang.

Pertama datang ke dusun tersebut, ia mengawali syiar Islam dengan mengajarkan baca tulis kepada warga. Setelah itu membantu membangun saluran air dan jalan, kemudian perlahan-lahan memasukkan ajaran Islam di dalamnya. Tahun 1977 Kiai Nasroh nekat mendirikan Ponpes Walisongo dengan santri hanya enam berjumlah enam orang.

Hari demi hari, nama Ponpes Walisongo makin dikenal masyarakat. Hingga tahun 1994, tercatat ada 800 santri mondok. “Sampai tahun itu, saya kebingungan karena belum punya masjid. Bahkan sampai empat kali berpindah lokasi untuk salat Jumat. Mulai dari menggunakan musala hingga memanfaatkan ruang pengajian,” kisah bapak enam anak ini.

Dengan modal uang Rp750.000 saat itu, Kiai Nasroh dan santrinya berikhtiar mendirikan masjid. “Saat itu pembelian kayu dibatasi oleh pemerintah, apabila melebihi batas, harus melalui proses yang sangat sulit,” terangnya sambil menerawang jauh ke depan.

Tapi Alhamdulillah, semuanya berjalan dengan baik. "Saya mendapat bantuan dari Pak Miftah yang saat itu menjabat ADM Perhutani dan Pak Sofyan sebagai Asper. Makanya, untuk mengenang, nama kami bertiga diputuskan untuk digunakan sebagai nama masjid "An-Nur Nurul Miftahussofyan" hingga sekarang," sambungnya.

Semua bahan sudah disiapkan untuk membangun masjid dengan arsitektur dari Kiai Nasroh sendiri, yakni berkaca pada ajaran Walisongo, diputuskanlah pembangunan masjid dimulai hari Minggu. Untuk tahap awal, yang paling disiapkan pendiriannya adalah kayu sebagai tiang utama masjid. Pasalnya, untuk mendirikan kayu sebesar itu tentunya butuh cara dan tenaga lebih.

Peristiwa ‘Ditiup’ Allah
Mendengar kabar rencana pendirian masjid unik, banyak warga dari daerah lain ingin melihat langsung. Termasuk Bupati Tuban saat itu. “Awalnya, disiapkan dengan cara diberi pengait tali dari kulit bambu. Tapi menjelang pembangunan saya berpikir beberapa kali, karena menganggap hal itu sepertinya tidak mungkin. Masak kayu sebesar itu hanya ditarik bersama-sama dengan tali dari kulit bambu?” cerita Kiai Nasroh.

Oleh karena itu, sebelaum hari pendirian, tepatnya Kamis, ia berusaha mendirikan kayu tersebut seorang diri. Anehnya, saat tali yang terbuat dari kulit bambu ditarik, tiang utama sebesar itu bisa tiba-tiba terangkat dan berdiri. Dirinya heran dan kaget. “Tapi Alhamdulillah, dengan ‘bolah’ atau 'ditiup' Allah, kayu jati itu berdiri. Awalnya sedikit menceng, namun cepat-cepat diluruskan sebelum ada orang lain yang tahu.

“Jadi, pendirian tiang utama itu tidak jadi dilaksanakan hari Minggu seperti yang dijadwalkan,” sambungnya.

Selang beberapa saat, warga yang mengetahui berdirinya kayu tersebut langsung berdatangan untuk melihat. Untuk wanita yang datang langsung mendekati galian di bawah tiang dan memasukkan uang receh di dalamnya, seperti kisah pendirian Keraton Mataram zaman dulu. “Mungkin kisah pendirian Keraton Mataram yang membuat para perempuan desa disini memasukkan uang receh itu,” terangnya.

Berikutnya, pembangunan masjid dilanjutkann oleh Kiai Nasroh bersama santri dengan mendapat bantuan sejumlah dermawan. “Semua pembangunan kita lakukan sesuai ajaran Nabi Sulaiman, bahwa dalam pembangunan masjid tidak diperkenankan mengeluarkan suara keras. Termasuk dalam pemasangan batu-batunya,” tegas Sang Kiai.

“Kalau Nabi Sulaiman menyuruh burung hud-hud mengambil besi kuning guna memotong batu agar tidak bersuara, kita hanya bisa memasang satu persatu batu bata dengan bacaan Ayat Kursi sambil berusaha tidak mengeluarkan suara sama sekali,” lanjutnya.

Satu tiang utama masjid tersebut dibantu dengan delapan tiang kecil sebagai penyangga atap di pinggir masjid. Dalam peletakannya, delapan tiang tersebut ditata sedemikian rupa, sehingga saat dilihat dari berbagai sisi tampak jumlahnya sembilan tiang. Menurut Kiai Nasroh, ini merupakan simbol perjuangan Wali Sembilan dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa.

Selain itu, di atas atap masjid dibangun beberapa sap ditempatkan gembol atau kayu jati sebagai mahkota. Masjid tidak menggunakan kubah dari aluminium atau semacamnya seperti yang umumnya digunakan di Indonesia. Tak hanya itu, semua yang ada di dalam masjid tersebut juga mengandung arti. Satu tiang tersebut merupakan petunjuk bahwa setiap yang masuk dalam masjid bisa mengingat Allah yang maha satu dengan kebesaran dan ketinggiannya. Sedangkkan panjang tiang 27 meter merupakan simbol bahwa salat diwahyukan kepada Rasulullah melalui Isro’ Mi’roj pada 27 Rajab.

Lebar masjid 17 meter berarti Al Quran yang diturunkan pada tanggal 17 Ramadan, panjang masjid 40 meter berarti nabi menerima wahyu pertama pada usai 40 tahun. Sementara tiang tambahan kanan dan kiri yang berisi delapan tiang ditambah satu tiang utama menunjukkan bahwa Islam masuk di tanah Jawa atas prakarsa sembilan wali.

Lambat laun, masjid ini makin dikenal masyarakat meski tempatnya berada di tengah hutan di daerah pedalaman. Termasuk Ponpes Walisongo juga semakin masyur seantero Nusantara. Bahkan, saudara ipar Sultan Hassanah Bolkiah dari Brunai Darussalam bernama Abdul Hamid, sempat nyantri selama tiga tahun ditempat tersebut. Sekarang ini, jumlah santri tercatat ada 1.800 orang yang berasal dari Jawa dan berbagai daerah di Indonesia, termasuk Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. [hid/mad]

Sumber: Link - Bloktuban


Kayu jati diameter sekira 28 sentimeter tinggi 27 meter berdiri kokoh di tengah Masjid An-Nur Nurul Miftahussofyan di Dusun Gomang, Desa Lajulor, Singgahan, Tuban.

Masjid yang dibangun 18 Agustus 1994 ini berada di lingkungan Pondok Pesantren Wali Songo. Selain para santri, masjid ini dipakai warga sekitar untuk salat berjemaah dan kegiatan Islami lainnya.

Pesantren ini didirikan oleh Kiai Nur Nasroh pada 1977. Sementara masjid baru dibangun pada 1994, setelah ada ratusan santri mondok di sana. Modalnya cuma Rp 750 ribu.

Saat itu pembelian kayu dibatasi oleh pemerintah dan jika melebihi batas harus melalui proses yang sangat sulit.


“Tapi Alhamdulillah saya mendapat bantuan dari Pak Miftah yang saat itu menjabat ADM Perhutani dan Pak Sofyan sebagai Asper. Makanya, untuk mengenang nama kami bertiga diputuskan untuk digunakan sebagai nama masjid ini (An-Nur Nurul Miftahussofyan),” cerita Kiai Nur kepada SURYA.co.id.

Saat awal pembangunan, proses mendirikan kayu sebagai tiang utama masjid juga unik. Awalnya, disiapkan dengan cara diberi pengait tali dari kulit bambu kemudian ditarik beramai-ramai.

"Tapi saya berpikir sepertinya tidak mungkin karena kayunya sangat besar. Kemudian sebelum hari H pembangunan, saya coba menariknya sendirian. Anehnya, saat tali yang terbuat dari kulit bambu tersebut saya tarik, tiang utama sebesar itu bisa berdiri. Jelas tidak ada lain lagi, semua berkat bantuan Allah," ujar Kiai Nur.
Dalam pembangunannya satu tiang utama masjid tersebut dibantu dengan delapan tiang kecil sebagai penyangga atap pinggir masjid.
Delapan tiang ditata sedemikian rupa sehingga ketika dilihat dari berbagai sisi tampak jumlahnya sembilan tiang.
Hingga sekarang, bangunan masih berdiri kokoh. Pun Pondok Pesantren Wali Songo, terus berkembang pesat dengan ribuan santri dari berbagai daerah di Indonesia.

Berita ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Di Balik Kisah Pembangunan Masjid Satu Tiang Penyangga di Tuban, http://www.tribunnews.com/ramadan/2017/06/06/di-balik-kisah-pembangunan-masjid-satu-tiang-penyangga-di-tuban.
Surya/M Taufik (Selasa, 6 Juni 2017).

Proses pembangunan Masjid An-Nur Nurul Miftahussofyan di Dusun Gomang, Desa Lajulor, Singgahan, Tuban, Jawa Timur, menyimpan cerita menarik. Foto diambil belum lama ini. SURYA/M TAUFIK


TRIBUNNEWS.COM, TUBAN - 
Editor: Y Gustaman



Melalui akun media sosialnya, Gus Maya, sapaan akrab Dr. RM. Armaya Mangkunegara, S.H., M.H. mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah hadir, berpartisipasi dan memberikan kontribusi sehingga puncak acara peringatan Hari Jadi Pondok Pesantren Nurussalam-Walisongo Gomang berjalan lancar.

Acara bertajuk Sholawat, Tahlil Akbar dan Istighotsah Kubro tersebut dilaksanakan pada hari Rabu Pahing Malam Kamis Pon tanggal 8 Malam 9 Muharram 1440 H atau tanggal 19 Malam 20 September 2018 M. Pada tanggal tersebut, Pondok Pesantren Nurussalam-Walisongo Gomang genap berusia 41 tahun. "Tahun ini sedikit berbeda, tidak mengangkat acara pengajian umum seperti tahun biasanya", ungkap Gus Maya. Tidak berbeda dengan tahun sebelumnya, Peringatan Hari Jadi Pondok pesantren Nurussalam-Walisongo Gomang dihadiri kurang lebih 20.000 pengunjung. "Kalau tahun kemarin kita sediakan tempat untuk sekitar 15.000 orang, insyaallah tahun ini bertambah, karena alumni dan kolega kita juga bertambah", tuturnya.

Dimulai lepas Isya' acara Tahlil Akbar dipimpin oleh KH. Jauhari Al Khafidz dari Pati. Kemudian dilanjutkan Sholawat dan ditutup dengan istighotsah Kubro yang dipimpin oleh KH. RM. Abraham Naja Mangkunegara, S.H. (Gus Naja). Sebelum istighotsah digelar, dimulai dengan khutbah iftitah yang langsung disampaikan oleh beliau Prof. Dr. KH. KPP. Noer Nasroh Hadiningrat, S.H., MMPd.

Selaku Ketua Yayasan Wali Sembilan, pada kesempatan terpisah Gus Maya juga menyampaikan permohonan maaf bilamana ada kekurangan dari segenap panitia dalam melakukan penghormatan kepada tamu. Gus Maya berharap, di tahun berikutnya, para tamu yang hadir telah mengagendakan untuk tetap mengikuti prosesi Peringatan Hari Jadi Pondok Pesantren Nurussalam-Walisongo Gomang. "Untuk para santri dan alumni, kehadirannya pada acara Hari Jadi Pondok merupakan bentuk khidmah kepada Kyai", pungkasnya. (red)



Catatan ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh gencarnya pemberitaan media yang belakangan ini mengemuka. Berbagai manuver politik dilakukan oleh elit nasional menyongsong Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2019. Memang demikianlah faktanya, dinamika kehidupan perpolitikan tanah air perlu ‘dihidupkan’ melalui berbagai cara, termasuk pembelajaran bagaimana berkomunikasi dan membangun komitmen politik.

Tentu, cara-cara yang digunakan para elit politik memiliki style yang tidak sama. Sesungguhnya itulah ‘seni’ nya politik. Demikian beberapa kalangan menyebutnya, termasuk saya. Adakalanya sikap politik juga diartikan sebagai sikap yang “abu-abu” (tidak jelas). Namun bagi saya tidak. Sikap politik lebih dilandasi pada sikap batin untuk menentukan arah dan tujuan ke depan. Bukan semata-mata bergantung pada ketidakjelasan.

Bila kini publik secara umum dapat menyaksikan langsung proses politik tersebut lantaran media gencar memberitakan, saya justru membayangkan bagaimana proses politik yang diambil oleh para pendahulu? Demikian pula kah kondisinya? Hal yang pasti dapat ditelaah adalah cerita-cerita politik Nusantara yang kini diwariskan. Sebenarnya ada pelajaran berharga jika kita mau lebih dalam memberikan makna dari apa yang telah dilakukan pendahulu kita.

Salah satu cerita yang ‘masyhur’ pernah terjadi adalah bagaimana seorang “Petruk” bisa menjadi “Ratu”. Petruk yang digambarkan sebagai “Punakawan”, bukan ber trah bangsawan, namun dapat menguasai “keprabon” sebagai Ratu. Terlepas kebenaran dari cerita tersebut, saya memandang ada hal penting yang digambarkan.

Pertama, dari sisi masanya, era kerajaan yang menganut sistem dinasti mengutamakan garis keturunan sebagai parameter menduduki jabatan publik. Apalagi pada posisi Ratu. Dengan kata lain, tidak sembarang orang dapat menjadi Ratu. Hanya mereka yang memiliki “trah” lah yang dapat menduduki jabatan publik tersebut. Bagamaina dengan Petruk? Fenomena Petruk yang bukan trah bangsawan namun dapat menjadi Ratu menurut saya ada nilai transisi sistem dinasti. Meski tidak lama, namun cukup menjadi catatan (kala itu), bahwa bukan trah bangsawan pernah menjadi Ratu.

Kedua, dari alur cerita yang digambarkan, Petruk menjadi Ratu karena memegang “Jimat Kalimosodo”. ‘Ageman’ yang bukan sembarang orang memiliki. Pusaka yang diyakini mampu menaklukkan seantero negeri. Terbukti, berbekal Jimat Kalimosodo itulah yang turut mengantarkan Petruk menjadi Ratu. Pada beberapa cerita, Jimat Kalimosodo dikiaskan berbentuk barang dan bisa dibawa kemana-mana. Namun menurut saya Jimat Kalimosodo dalam cerita itu lebih mengarah pada “Ilmu Yakin”.

Kalimosodo merupakan terminologi bahasa Jawa, yang jika diurai merupakan “Kalimat Syahadat”. Secara etimologis, Syahadat berasal dari kata bahasa Arab yaitu syahida(شهد) yang artinya "ia telah menyaksikan". Kalimat itu dalam syariat Islam adalah sebuah pernyataan kepercayaan sekaligus pengakuan akan keesaan Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rosul Allah. Dalam tataran ini, ada dua persaksian, yakni menyaksikan bahwa “Tiada Tuhan Selain Allah” dan persaksian bahwa Nabi “Muhammad adalah Utusan Allah”. Maka dikenal pula sebagai Syahadatain (dua kalimah Syahadat) yaitu “Syahadat Tauhid” dan “Syahadat Rosul”.

Lebih lanjut, ungkapan kesaksian “saya bersaksi”, sesungguhnya merupakan pernyataan personal, bahwa menyaksikan. Maka, persaksian yang bagaimana? Padahal secara teori, menyaksikan merupakan proses mengetahui, melihat, mengalami atau mendengar. Itulah yang dalam catatan sebelumnya saya katakan sebagai “Ilmu Yakin”. Tidak mengetahui, tidak melihat, tidak mengalami atau tidak mendengar (secara langsung) namun menyaksikan. Jika tidak berbekal keyakinan tentu tidak berani menyatakan. Sungguh nilai keimanan yang luar biasa besarnya.

Maknanya, Jimat Kalimosodo lebih mengarah pada nilai-nilai agama, khususnya agama Islam. Bagaimana dalam konteks politik? Mengacu pada cerita Petruk dadi Ratu di atas, maka salah satu landasan sikap politik adalah seberapa jauh (ajaran) agama menggariskan. Tidak serta merta menghalalkan segala cara. Dan mungkin itu pula yang ditempuh oleh Petruk saat itu. Makna yang lain, bahwa dalam politik butuh sebuah keyakinan. Keyakinan bahwa jika Allah berkehendak, tidak ada yang tidak mungkin terjadi. Keyakinan yang tentunya diimbangi dengan upaya maksimal meraih sesuatu yang dicita-citakan. Bahkan, dalam beberapa qoul ulama’, salah satu tanda dikabulkannya doa adalah yang diimbangi dengan rasa yakin bahwa Allah pasti mengabulkan.

Dikaitkan dengan hiruk pikuk perpolitikan saat ini, saya melihat ada benang merah yang dapat diambil dari cerita Petruk dadi Ratu. Fenomena saling berkomunikasi lintas partai dan membangun koalisi pada dasarnya merupakan penuangan falsafah “keyakinan”. Saling percaya dan menjaga kepercayaan. Tidak mungkin tercapai suatu konsensus politik jika tidak dibarengi dengan rasa percaya di antara tokoh-tokoh politik. Apalagi, sistem kita mensyaratkan seorang calon Presiden diusung oleh Partai Politik maupun gabung Partai Politik. Jadi modal keyakinan dalam membangun komitmen politik menjadi hal terpenting untuk mengantarkan figur “Ratu” (read: Presiden).

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat merupakan salah satu amanat sistem demokrasi Indonesia. Begitulah pranata yang dipilih oleh bangsa Indonesia. Karenanya, penghormatan terhadap sistem dalam bentuk proses politik tersebut sepatutnya dihargai oleh seluruh elemen masyarakat. Termasuk dalam proses itu berwujud kebebasan menuangkan ide, gagasan dan menyuarakannya di hadapan publik. Negara menjamin kebebasan warga negara dalam berserikat dan berkumpul. Bahkan, tertuang sebagai fundamental right dan merupakan salah satu substansi konstitusi. Maka, bebas berpartai apa pun dan menjalin komunikasi politik dengan siapa pun selama dalam koridor tatanan sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jimat Kalimosodo, dalam konteks politik nasional menurut saya dapat dimaknai sebagai partai-partai yang bernafaskan Islam. Tentu masyarakat memahami corak masing-masing partai politik yang pada tahun 2019 menjadi kontestan. Sebagai catatan saya, partai bernafaskan Islam tersebut adalah satu kesatuan “Kalimosodo”. Namun satu kesatuan ini terdiri dari dua elemen. Sebab Syahadat terdiri dari dua aspek. Jika salah satu elemen dipisahkan apa yang terjadi? Wallahu A’lam.

Beberapa survey menyuarakan, bahwa salah satu tema yang diangkat pada saat proses Pilkada serentak beberapa waktu lalu dilatarbelakangi dari aspek agama. Bukan bermaksud SARA, namun itulah yang terjadi. Maka sebagai bagian dari masyarakat yang beragama, tentunya saya pribadi menaruh harapan besar pada tokoh-tokoh yang tidak menanggalkan etika dan nilai agama dalam berpolitik. Saya yakin, jika itu yang dilakukan, Insyaallah akan membawa kebaikan. 

Sumber Ilustrasi : Link

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget