May 2018


Sumber Ilustrasi : Link


Kisah Ken Arok dan Tunggul Ametung yang tenar dalam berbagai tulisan cerita rakyat sebenarnya menjadi gambaran tersendiri dalam kancah politik di Indonesia. Dalam kisah itu, tergambar proses perebutan kekuasaan yang berakhir dramatis dengan terbunuhnya Tunggul Ametung. Adalah Keris Empu Gandring, demikian senjata yang digunakan oleh Ken Arok untuk menghabisi nyawa Tunggul Ametung kala itu. Keris itu pula yang mengantarkan Ken Arok bertahta di singgasana Tumapel. 

Jika ditarik benang merah, kisah itu sebenarnya telah memberikan pelajaran berharga bagi kalangan politisi di negeri ini. Betapa tidak, di zaman kerajaan yang menganut sistem dinasti, waris tahta akan mengalir lurus kepada keturunan-keturunannya. Demikian halnya dengan sistem politik demokrasi langsung yang kini diterapkan di Indonesia. Mereka yang menduduki 'Keprabon' adalah yang mendapatkan legitimasi dukungan suara rakyat terbesar. 

Ken Arok dengan cara berpolitiknya, politisi kini pun berhak memilih caranya. Baik Ken Arok maupun politisi modern saat ini berorientasi sama, yakni kekuasaan (baca: Jabatan Publik). Namun yang perlu digaris bawahi adalah bahwa cara-cara yang diterapkan oleh politisi mutlak hak masing-masing individu untuk menentukan. Dengan cara yang baik atau harus menggunakan cara 'kotor' yang sama sekali tidak mencerminkan jiwa kesatria.

Dalam kisah Ken Arok, dia menunjukkan cara yang benar-benar massive dan terstruktur. Bermula dari pendekatan pribadi Ken Arok dengan Ken Dedes hingga berujung penggulingan tahta Tunggul Ametung. Namun rakyat kala itu tetap mengakui bahwa waris yang sebenarnya adalah Tunggul Ametung. Karena dialah yang mendapatkan mandat sah. Bagaimana dengan Ken Arok yang berkuasa? 

Penulis menganggap fenomena itu sebagai dinamika politik. Keberhasilan Ken Arok menduduki tahta Tumapel saat itu merupakan goal terbaik jika dipandang dari sisi tujuan politik secara pragmatis. Namun jika dilihat dari sudut pandang prosedural, cara yang diambil oleh Ken Arok tidak mencerminkan moralitas luhur adat ketimuran.

Tak berbeda dengan kisah Ken Arok, situasi dan kondisi politik saat ini juga mengarah pada pilihan dua cara itu. Meraih goal politik secara benar atau menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan moral dan hati nurani. Jika goal yang ingin dicapai sebatas kemenangan yang tak dapat dipertanggungjawabkan legitimasinya, maka tidaklah perlu bersusah payah kesana kemari penggalangan massa. Namun jika tujuan politik benar-benar menegakkan demokrasi dan jati diri legitimasi rakyat padanya, maka sudah sepatutnya rakyat sebagai subyek dan obyek perlu didekati dengan sentuhan 'magic' politisi. Tentunya semua cara itu memiliki konsekuensi tersendiri.

Lantas mengapa Ken Arok saat itu harus memilah dan memilih sehingga menentukan senjata Keris Empu Gandring untuk menggulingkan Tunggul Ametung? Jawaban simpelnya karena Tunggul Ametung juga bukan orang sembarangan (Termasuk orang sakti mandraguna), maka perlu senjata yang juga sakti mandraguna pula. Empu gandring terkenal sebagai Empu yang linuwih dan memiliki keahlian pembuatan senjata hebat zaman itu. Maka tidak ragu Ken Arok menjatuhkan pilihan Keris Empu Gandring sebagai senjatanya. 

Seorang Empu adalah kalangan brahmana yang terkenal hebat dalam melakukan tirakat. Dalam bahasa Islam dikenal sebagai 'Riyadloh'. Sehingga sangat wajar bilamana orang yang ahli tirakat memiliki kedekatan dengan Sang Pencipta. Karena dia diberikan kelebihan khusus yang tidak dimiliki sembarang orang. Mengapa Ken Arok mendekat dengan Empu Gandring? Tentu salah satu alasannya adalah anggapan mustajabahnya doa Sang Empu jika dibanding Ken Arok sendiri yang menjalaninya. Dalam bahasa Islam nya 'Wasilah'.

Konteks saat ini, orang-orang yang memiliki kelebihan khusus dibanding orang pada umumnya adalah Ulama. Al Ulama Warotsatul Anbiya. Ulama adalah waris dari para Nabi. Jadi suksesnya politisi tidak terlepas dari campur tangan faktor non teknis yang juga sangat menentukan. Yakni doa para Ulama (Kyai). Kecuali bilamana seorang politisi sudah menentukan caranya sendiri yang tidak percaya dengan hal yang demikian ini. Apalagi sudah merasa paling tinggi dibanding siapa pun di dunia ini. Naudzubillah Min Dzalik.

Hal yang perlu diingat oleh seorang calon pemimpin adalah masyarakat yang dipimpin kelak tidak sebatas masyarakat yang kasat mata saja. Namun juga masyarakat yang tak kasat mata (ghoib). Jadi tidak serta merta cara yang digunakan (baca:Model Kepemimpinan) hanya sebatas menggunakan cara pelayanan publik yang kasat mata saja. Lebih dari itu, pendekatan pelayanan pada masyarakat yang tak kasat mata juga perlu dilakukan. Sebab percaya pada hal yang ghoib termasuk bagian dari unsur keimanan. Ken Arok dalam ceritanya juga telah melakukan hal seperti ini. Karena dirinya merasa tak mampu menembus hal-hal yang demikian itu, dirinya pun menggunakan cara pragmatis dengan mendekati orang yang menurutnya memiliki kelebihan.

Maka tidak salah jika kalangan Nahdliyin sudah memahami falsafah tersebut. Sebab pada era KH. Hasyim Asy'ari sudah dicontohkan struktur Tanfidziyah sebagai unsur birokratif dan Syuriah dari unsur Kyai yang memiliki fungsi kontrol agar dapat memberikan pitutur kepada Birokrasi. 

Terlebih dalam rangka mengikuti kontestasi politik, doa para Ulama mutlak menjadi hal terpenting agar dapat menyatukan unsur agama dan politik. Termasuk pada hal-hal prinsip yang tidak setiap orang mampu mengetahuinya. Meskipun hal ini tidak lantas meninggalkan cara-cara duniawi yang harus pula ditempuh.  Menjadi sangat penting bagi politisi untuk mewaspadai pergerakan non struktural yang cenderung massive agar tidak kecolongan dalam perolehan suaranya.


Sumber Ilustrasi : Link

Pendiri Jam’iyyah besar di Indonesia serta sarat dedikasi kepada bangsa dan negara, itulah gambaran kecil kiprah yang dilakukan oleh KH. Hasyim Asy’ari. Tokoh kharismatik dan memiliki jiwa kepemimpinan yang luar biasa. Penulis tidak hidup di era beliau, Penulis pun tak berjumpa langsung dengan beliau, namun sebatas cerita dan referensi yang Penulis telusuri, cukup memberikan motivasi tersendiri. Bahkan hanya sebatas rujukan referensi, dapat menggugah bayangan seolah-olah berada di zaman beliau.

Sedikit yang Penulis garis bawahi dari apa yang dilakukan oleh beliau, adalah betapa tulus beliau memberikan ‘darah dan keringat’ nya untuk bangsa dan negara. Tanpa pamrih dan sama sekali mengharapkan secuil balasan dari negara. Beliau hidup di era perjuangan merebut kemerdekaan, dengan keterbatasan media, sarana dan prasarana. Namun beliau, di tengah kondisi yang memprihatinkan saat itu justru melakukan gebrakan luar biasa yang membekas hingga ke anak keturunan bangsa Indonesia.

Perebutan kemerdekaan hingga mengantarkan diproklamasikannya kemerdekaan bangsa Indonesia. Pertanyaan mendasar, sebenarnya apa yang beliau harapkan? Kesejahteraan? Benar, (mungkin) salah satu harapan yang dicita-citakan beliau adalah kesejahteraan. Untuk siapa? Tentunya secara umum untuk bangsa dan negara Indonesia. Mengapa tidak untuk pribadi dan keluarga? Sejauh yang Penulis ketahui, jika yang dilakukan oleh beliau sebatas untuk kepentingan kesejahteraan pribadi dan keluarga, tanpa bersusah payah mengorbankan jiwa dan raga pun dapat beliau lakukan.

Faktanya, rasa sejahtera dirasakan oleh generasi bangsa Indonesia saat ini. Tidak terkecuali pula apa yang dirasakan oleh Penulis. Teramat naif jika hidup di tengah kesejahteraan dengan sarana dan prasarana cukup, hanya mengungkapkan rasa kagum dan terima kasih pun tak dilakukan.

Konsep keikhlasan yang beliau ajarkan tidak hanya sebatas ajaran. Keikhlasan yang beliau tunjukkan digambarkan dalam tindakan yang nyata. Ibarat membuang sampah, tidak berharap lagi sampah kembali kepada kita, tanpa penyesalan dan tanpa harapan. Begitu pun dengan yang dilakukan oleh beliau. Melakukan tindakan tanpa berharap kembali apa yang dilakukan.

Semoga di tengah kemajuan peradaban, muncul warisan nilai keikhlasan yang dilakukan dan ditunjukkan oleh KH. Hasyim Asy’ari kepada kita dan generasi mendatang. Pengorbanan (tirakat) yang dilakukan menunjukkan betapa besar perjuangan yang dilakukan demi bangsa dan negara. Al Fatihah.

Image result for pluralitas ham
Sumber Ilustrasi: Link

Negara hukum (rechtstaat) menempatkan sendi-sendi hak asasi manusia sebagai fundamen kenegaraaan yang tak bisa tergantikan. Tuntutan negara hukum menghendaki adanya dinamika kehidupan berkebangsaan yang memanusiakan manusia. Inilah yang lantas diejawantahkan sebagai Hak asasi manusia. 

Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, hak-hak dasar tersebut eksplisit tertuang dalam konstitusi sebagai suatu fundamental right yang non derogable. Sebagai suatu implikasi, secara filosofis tersurat bahwa hukum mencover nilai-nilai kemasyarakatan yang tidak lain menempatkan perlindungan terhadap hak kemanusiaan. Inilah yang kemudian di break down dalam sistem ketatanegaraan dan sistem hukum. 

Bangsa Indonesia ber nafaskan Bhineka Tunggal Ika. Sedangkan Bhineka sendiri mengandung makna pluralisme. Pasal 28 UUD 1945 membingkai penghormatan terhadap sebuah perbedaan. Perbedaan termasuk penerapan nilai non diskriminatif. Hak Asasi Manusia menjunjung tinggi kebebasan dalam perbedaan. Beranjak dari kesadaran berpikir kemanusiaan inilah yang menjadi ruh dan jiwa pengembangan keberdayaan. Budaya sadar akan pentingnya penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia setidaknya sudah tidak menjadi barang basi yang lampau tertinggal waktu. Lebih dari itu, kesadaran akan nilai-nilai dasar kemanusiaan mengandung penjiwaan yang sangat luas. Dari sisi kenegaraan, Hak asasi manusia termasuk dalam hak konstitusional. Oleh karenanya, sadar menghormati Hak Asasi manusia mencerminkan kesadaran berkonstitusi. Secara yuridis, skema peraturan perundang-undangan menaruh sebuah amanah berupa kewajiban untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Nilai yang tidak lain juga kembali pada Hak asasi manusia. Dari sisi sosio kultural, adat ketimuran menghendaki adanya tepo seliro, toleransi dan saling menghormati eksistensinya sebagai manusia. 

Secara kodrati, manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan jaringan interaksi sosial antar sesama manusia. Kondisinya yang kommunal menunjukkan adanya sebuah pola ketergantungan yang tak terpisahkan. Dalam kehidupan kommunal tersebut tergambar sebuah kebersamaan. Namun kadangkala tak terpikirkan oleh kita mengapa kebersamaan dalam dinamika sosial itu justru terjalin demikian eratnya?bahkan rasa persaudaraan cenderung mengembang. Satu hal yang terlupakan, bahwa dibalik semua itu terbingkai nilai-nilai luhur yang kadang sama sekali tak terpikirkan. Adalah sebuah PERBEDAAN. Sebuah kekayaan yang tak ternilai dan sebuah nilai yang tak terdeskripsikan. Perbedaan sebagai sebuah dinamika kemanusiaan yang menjunjung tinggi penghormatan. Tiada penghormatan bila tak ada perbedaan. Sebagai contoh, ketika terdapat keseragaman corak baju, maka nilai yang terbesit pada baju yang satu dengan baju yang lain bisa sama. Bahkan lebih buruk. Akan tetapi bila terdapat faktor pembanding berupa baju yang berbeda maka akan muncul sebuah penilaian yang berbeda dan bisa lebih dinamis. 

Perbedaan yang kemudian tergambar dalam kondisi pluralitas menunjukkan adanya pengakuan atas hak dasar berkemanusiaan yang mendalam. Betapapun nilainya, pluralitas sangat esensial dalam membangun pencitraan, baik secara individual maupun kolektif. Nuansa penghormatan inilah yang sedianya merupakan wujud konkrit penerapan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Oleh karenanya, banggalah kita yang hidup dalam iklim perbedaan. Berbesar hatilah kita yang berada di tengah-tengah pluaralitas. Pluralitas sebagai wujud simbol penghormatan Hak Asasi Manusia.

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget