KISAH KEN AROK DALAM PERSPEKTIF POLITIK KEKUASAAN
Sumber Ilustrasi : Link
Kisah Ken Arok dan Tunggul Ametung yang tenar dalam berbagai tulisan cerita rakyat sebenarnya menjadi gambaran tersendiri dalam kancah politik di Indonesia. Dalam kisah itu, tergambar proses perebutan kekuasaan yang berakhir dramatis dengan terbunuhnya Tunggul Ametung. Adalah Keris Empu Gandring, demikian senjata yang digunakan oleh Ken Arok untuk menghabisi nyawa Tunggul Ametung kala itu. Keris itu pula yang mengantarkan Ken Arok bertahta di singgasana Tumapel.
Jika ditarik benang merah, kisah itu sebenarnya telah memberikan pelajaran berharga bagi kalangan politisi di negeri ini. Betapa tidak, di zaman kerajaan yang menganut sistem dinasti, waris tahta akan mengalir lurus kepada keturunan-keturunannya. Demikian halnya dengan sistem politik demokrasi langsung yang kini diterapkan di Indonesia. Mereka yang menduduki 'Keprabon' adalah yang mendapatkan legitimasi dukungan suara rakyat terbesar.
Ken Arok dengan cara berpolitiknya, politisi kini pun berhak memilih caranya. Baik Ken Arok maupun politisi modern saat ini berorientasi sama, yakni kekuasaan (baca: Jabatan Publik). Namun yang perlu digaris bawahi adalah bahwa cara-cara yang diterapkan oleh politisi mutlak hak masing-masing individu untuk menentukan. Dengan cara yang baik atau harus menggunakan cara 'kotor' yang sama sekali tidak mencerminkan jiwa kesatria.
Dalam kisah Ken Arok, dia menunjukkan cara yang benar-benar massive dan terstruktur. Bermula dari pendekatan pribadi Ken Arok dengan Ken Dedes hingga berujung penggulingan tahta Tunggul Ametung. Namun rakyat kala itu tetap mengakui bahwa waris yang sebenarnya adalah Tunggul Ametung. Karena dialah yang mendapatkan mandat sah. Bagaimana dengan Ken Arok yang berkuasa?
Penulis menganggap fenomena itu sebagai dinamika politik. Keberhasilan Ken Arok menduduki tahta Tumapel saat itu merupakan goal terbaik jika dipandang dari sisi tujuan politik secara pragmatis. Namun jika dilihat dari sudut pandang prosedural, cara yang diambil oleh Ken Arok tidak mencerminkan moralitas luhur adat ketimuran.
Tak berbeda dengan kisah Ken Arok, situasi dan kondisi politik saat ini juga mengarah pada pilihan dua cara itu. Meraih goal politik secara benar atau menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan moral dan hati nurani. Jika goal yang ingin dicapai sebatas kemenangan yang tak dapat dipertanggungjawabkan legitimasinya, maka tidaklah perlu bersusah payah kesana kemari penggalangan massa. Namun jika tujuan politik benar-benar menegakkan demokrasi dan jati diri legitimasi rakyat padanya, maka sudah sepatutnya rakyat sebagai subyek dan obyek perlu didekati dengan sentuhan 'magic' politisi. Tentunya semua cara itu memiliki konsekuensi tersendiri.
Lantas mengapa Ken Arok saat itu harus memilah dan memilih sehingga menentukan senjata Keris Empu Gandring untuk menggulingkan Tunggul Ametung? Jawaban simpelnya karena Tunggul Ametung juga bukan orang sembarangan (Termasuk orang sakti mandraguna), maka perlu senjata yang juga sakti mandraguna pula. Empu gandring terkenal sebagai Empu yang linuwih dan memiliki keahlian pembuatan senjata hebat zaman itu. Maka tidak ragu Ken Arok menjatuhkan pilihan Keris Empu Gandring sebagai senjatanya.
Seorang Empu adalah kalangan brahmana yang terkenal hebat dalam melakukan tirakat. Dalam bahasa Islam dikenal sebagai 'Riyadloh'. Sehingga sangat wajar bilamana orang yang ahli tirakat memiliki kedekatan dengan Sang Pencipta. Karena dia diberikan kelebihan khusus yang tidak dimiliki sembarang orang. Mengapa Ken Arok mendekat dengan Empu Gandring? Tentu salah satu alasannya adalah anggapan mustajabahnya doa Sang Empu jika dibanding Ken Arok sendiri yang menjalaninya. Dalam bahasa Islam nya 'Wasilah'.
Konteks saat ini, orang-orang yang memiliki kelebihan khusus dibanding orang pada umumnya adalah Ulama. Al Ulama Warotsatul Anbiya. Ulama adalah waris dari para Nabi. Jadi suksesnya politisi tidak terlepas dari campur tangan faktor non teknis yang juga sangat menentukan. Yakni doa para Ulama (Kyai). Kecuali bilamana seorang politisi sudah menentukan caranya sendiri yang tidak percaya dengan hal yang demikian ini. Apalagi sudah merasa paling tinggi dibanding siapa pun di dunia ini. Naudzubillah Min Dzalik.
Hal yang perlu diingat oleh seorang calon pemimpin adalah masyarakat yang dipimpin kelak tidak sebatas masyarakat yang kasat mata saja. Namun juga masyarakat yang tak kasat mata (ghoib). Jadi tidak serta merta cara yang digunakan (baca:Model Kepemimpinan) hanya sebatas menggunakan cara pelayanan publik yang kasat mata saja. Lebih dari itu, pendekatan pelayanan pada masyarakat yang tak kasat mata juga perlu dilakukan. Sebab percaya pada hal yang ghoib termasuk bagian dari unsur keimanan. Ken Arok dalam ceritanya juga telah melakukan hal seperti ini. Karena dirinya merasa tak mampu menembus hal-hal yang demikian itu, dirinya pun menggunakan cara pragmatis dengan mendekati orang yang menurutnya memiliki kelebihan.
Maka tidak salah jika kalangan Nahdliyin sudah memahami falsafah tersebut. Sebab pada era KH. Hasyim Asy'ari sudah dicontohkan struktur Tanfidziyah sebagai unsur birokratif dan Syuriah dari unsur Kyai yang memiliki fungsi kontrol agar dapat memberikan pitutur kepada Birokrasi.
Terlebih dalam rangka mengikuti kontestasi politik, doa para Ulama mutlak menjadi hal terpenting agar dapat menyatukan unsur agama dan politik. Termasuk pada hal-hal prinsip yang tidak setiap orang mampu mengetahuinya. Meskipun hal ini tidak lantas meninggalkan cara-cara duniawi yang harus pula ditempuh. Menjadi sangat penting bagi politisi untuk mewaspadai pergerakan non struktural yang cenderung massive agar tidak kecolongan dalam perolehan suaranya.